Kumohon, Cintailah Aku!


Link


Mau nggak mau, karena film ini masuk dalam daftar “Least Popular Short Films With Country of Origin Indonesia”, maka saya mengulasnya. Karena yang bikin saya juga, sebenarnya bukan mengulas, sih. Justru mau cerita proses pembuatannya. Ya, kali-kali aja di masa depan ada yang mau meneruskan eksperimen ini.

Semuanya dimulai dari sebuah pertanyaan di tahun 2008 tentang... Apakah saya bisa membuat sebuah film yang bisa tayang di bioskop, tapi dibuat pakai handphone? Maka bermodalkan handphone merek “Hitech” yang zaman itu bisa buat nonton TV, saya memulainya. Lalu saya juga pakai processor Core 2 Duo, monitor LG, dsb. Pokoknya modal-lah. Timbul pertanyaan, kalo saya buat dalam bentuk live action, maka hasilnya pasti kacrut. Soalnya kualitas gambarnya pasti jelek. Maka satu-satunya pilihan adalah animasi.

Cerita diambil dari cerpen saya di majalah HAI, yang berjudul “Kumohon, Cintailah Aku!”. Secara kisah saja cukup kontroversi karena mengandung SARA, dan memang sengaja saya lakukan, namanya juga eksperimen. Film ini sangat pendek, durasinya hanya 1 menit. Semua software yang dipakai adalah “bajakan”, sehingga inilah yang menginspirasi penamaan rumah produksi menjadi “Sutradara Kere Production”.

Secara gambar memakai gaya grafiti gitu, tapi sebenarnya dibuat pakai “paint” yang suka kita lihat di operating system Windows. Rahasia kenapa film ini tidak saya publish besar-besaran, karena dasar rotoscopy-nya mengambil dari film luar. Alias, jelas-jelas melanggar hak cipta. Di edisi Festival Penyutradaraan X FFTV-IKJ yang diputar di Studio 1 Cineplex TIM (alias Kineklub), bahkan saya memakai printscreen dari LSF. Benar-benar sebuah film yang menantang hukum, alias memberontak.

Tapi saat pemutaran di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (sekitar Februari 2009), teman-temen menemukan kejanggalan karena film seupil ini nggak bisa di-convert. Aneh juga, kok bisa kalo di-convert hasilnya akan patah-patah? Beda kalo kita putar langsung dari hasil DVD. Bodohnya saya, tidak menyimpan catatan export dari macromedia dan premiere. Seingat saya, saya memakai resolusi paling tinggi dengan alasan... Ini semacam meng-upgrade kualitas gambar dari handphone untuk tayangan bioskop. Tapi gara-gara gak bisa di-convert inilah saya berkesimpulan... Bahwa film ini nggak bisa dibajak. Ini yang mustinya jadi penelitian jika ke depan ingin bereksperimen kembali.

Hal yang sama terjadi ketika diputar di kampus Palcomtech, Palembang. Film ini juga gagal di-convert bahkan oleh teman saya di sana. Lagi-lagi saya semakin yakin, bahwa eksperimen seupil ini semacam semangat untuk membuktikan bahwa ada film yang nggak bisa di-convert, sehingga gak bisa dibajak. Unik, kan? Saya juga bingung, hehe...

Entahlah, apa saya akan meneruskan eksperimen ini sehingga menjadi film panjang, atau orang lain? Tetap dalam konteks film “Kumohon, Cintailah Aku!”. Sebuah cerita yang jelas-jelas SARA dan bisa memancing reaksi umat Islam se-Indonesia.

Tapi sekarang saya berfikir, seandainya film ini publish dan jadi panjang, maka akan ribut ngkale, ya? Secara dari trilogy cerita yang saya buat, 2 sangat slasher, 1 yang publish di majalah HAI. Ya, sutralah. Intinya saya hanya mau cerita, kenapa film ini yang sebenarnya hanya eksperimen kecil tiba-tiba menjadi istimewa. Sebuah eksperimen lantaran zaman itu saya jenuh membuat sesuatu yang mainstream dan mematuhi aturan.

Zaman itu, lho. Kalo sekarang, hadeh! Mending mikir-mikir lagi, deh. Hehehehe...

#SekedarCerita


(Gelumbang, 11 Juli 2014)





Comments

Post a Comment