Bioskop Indonesia



Ini adalah sebuah grup di facebook yang bercerita tentang perfilman Indonesia, lebih fokus ke bioskop. Memasuki anggota ke-511, saya pun mulai berfikir, akan ke arah mana grup ini sebaiknya diarahkan?

Sesuai judulnya, maka grup ini sebaiknya bicara tentang bioskop. Tentang suka-duka pengalaman menonton film di bioskop, tentang tiket-tiket film bioskop, tentang hal yang berbau bioskop dan penonton. Dua hal yang sebenarnya tidak akan pernah habis dibahas, karena salah satu output dari film-film Indonesia, apalagi kalau bukan bioskop.

Saat menulis ini saya berada di Gelumbang, tepatnya 58 km dari Palembang. Untuk kota seperti Palembang saja, bioskop sementara ini hanya ada 3, antara lain:


Yang agak berat menurut saya adalah pertanyaan dari Om Djonni, ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), tentang bagaimana membiasakan bioskop minded di hati penonton kita. Artinya, membiasakan para penonton untuk pergi ke bioskop. Kalo sudah begini saya pun balik bertanya... Apa sih alasan kita datang ke bioskop?

Kalau saya kemarin tuh ingin membuktikan, seperti apa rasanya menonton film Indonesia sebanyak 1001 buah, di bioskop? Saya tidak ingin membahas ini dulu, karena partner saya Elnino Irawan dan Meidy Ahmad sedang negosiasi dengan investor mengenai program ini. Sementara sutradara Blend Rock (sutradara yang saya inginkan membuat dokumenternya, sementara ini lho) sedang fokus ke proyek-proyeknya. Artinya program ini sementara terhenti di film ke-45. Yang pasti kemaren pertanyaan dari saya seputar... Akan dibuat apa saat saya masuk film ke-100?

Pembahasan tentang bioskop ini terus berlanjut setelah Papa memberi hadiah satu halaman full mengenai kegelisahan GPBSI di sebuah surat khabar. Saya kok jadi mikir, kalo terlalu banyak film tapi nggak ada outputnya, susah juga lho? Melihat jatah film tiap minggu rata-rata 2 film, berarti selama setahun kurang-lebih ada 100 film Indonesia yang rilis. Sementara untuk masuk ke Televisi, paling FTV atau Bioskop Indonesia atau TVM yang kemaren sempat naik daun. Sisanya, TV diisi oleh sinetron striping. Kalo program TV yang laen nggak usah disebutkan-lah.

Kita juga sulit membangun infrastruktur jaringan internet kencang di tiap daerah (dalam rangka membangun bioskop berbasis internet), karena masih banyak masalah di republik ini belum terbenahi. Kayak masalah banjir di Jakarta kemaren, itu saja sudah cukup menyita perhatian. Belum masalah pendidikan, masalah kesehatan, dsb.

Kesimpulan saya, sih... Bioskop semestinya menjadi tempat yang dekat dengan penontonnya. Bukan sesuatu yang eksklusif, bukan sesuatu yang mewah, sehingga penonton menjadi dekat. Terus terang saja, pengalaman saya ke XXI sempat bikin jiper juga, lho. Soalnya mau duduk di cafe XXI saja sempet mikir, ini duduk bayar nggak, ya? Hehe... Asli saya sempat mikir gitu, lho. Mana nonton bawa duit ngepas lagi. Wkwkwk...

Kira-kira begono sejauh ini.


(Gelumbang, 13 februari 2014)







Comments