Film ke-43 |
Sebelumnya saya agak-agak nggak yakin dengan
kelanjutan program ini, soalnya kondisi keuangan sedang tidak stabil. Setelah
memasuki film ke-41, saya pun megap-megap. Ini bisa kalian baca di tulisan yang ada di kompasiana,
dimana saya menonton film ke-42 di DVD. Tapi untung yang namanya rezki itu
nggak kemana. Ketika saya cek masih ada sisa uang, saya lantas berangkat menuju
Depok, dimana tiket murah untuk nonton film di bioskop-nya adalah 15.000 rupiah.
Selesai menonton film ke-43 dari rangkaian #1001TiketFilmIndonesia
aka #1001FilmIndonesia
aka #Jalton
(Jalan-Jalan Sambil Nonton) aka #Pofin (Penonton
Film Indonesia). Nah tuh, banyak banget istilahnya deh. Film kali ini berjudul Sayap Kecil Garuda, yang disutradarai Aditya Gumay. Satu kekuatan film ini kalo
menurut saya, yaitu karakter. Tokoh utama bernama Pulung yang sudah SMP tapi
belum hapal Pancasila adalah karakter unik. Sebuah materi sederhana tentang
bagaimana dalam membangun cerita berdasarkan sebuah karakter.
Tipe cerita model begini sebenarnya asyik, tapi
terkadang kelemahannya terletak pada bagaimana cara mengembangkan karakter
menjadi cerita yang dramatik? Jujur saja, buat saya pribadi cerita film ini
agak datar. Bahkan di tengah-tengah saya merasa alurnya terlalu lambat. Tapi
kembali lagi ke gaya, soalnya setiap movers
(moviemakers) punya gaya sendiri dalam mengatur ritme filmnya.
Kelebihan film ini juga terletak di jiwa
wirausaha-nya Pulung. Dia membuat layang-layang, menjualnya, lalu uangnya
digunakan untuk membeli ban sepeda abahnya. Ada juga pengetahuan tentang
pengumpul beras di kampung tempat Pulung tinggal (lupa istilah untuk
mengumpulkan beras itu apa namanya tadi). Buat saya, film ini adalah film yang
santun. Film yang memberi inspirasi dari tokoh utama yang ada di dalamnya. Tapi
lagi-lagi saya merasa ada yang kurang greng dari film ini.
Saya lagi mikir, jangan-jangan yang jadi masalah
adalah konflik. Terus plotnya juga terlalu drama, sehingga kurang greget untuk
tontonan dengan gaya anak-anak. Kayak gimana, ya? Mau ketawa, nanggung. Mau
nangis, nanggung. Serba nanggung-lah pokoknya. Hmmm ketemu... Film ini mungkin kurang bisa mengatur emosi
penonton. Kayaknya begono.
Tapi secara gambar saya suka. Gambarnya asyik,
bisa menjelaskan atmosfer visual yang ada di daerah tersebut. Kemiskinan,
kesederhanaan, tergambar secara jelas di layar. Menurut saya ada adegan yang
kurang perlu, seperti sedikit animasi di adegan perkelahian Tukang Obat,
rasanya kurang pas. Adegan ke hutan dalam rangka diklat pemilihan Ketua Osis
juga terkesan dipaksakan kalo menurut saya. Tapi kan selera orang beda-beda,
mungkin karena saya kecapean dari Pondok Kopi ke Depok, jadi pas nonton
bawaannya agak lemes. Gak sabaran, pengen tau ujung ceritanya dimana.
Dari sini bisa saya simpulkan, bahwa kondisi psikologis saat menonton itu
penting. Seperti waktu saya menonton Mengejar Setan, mungkin kalo saya nonton sebelum Van Der Wijck laen lagi ceritanya. Atau pas nonton Merry Go Round, dimana saya berada dalam kondisi capek habis syuting. Artinya
dalam menilai sebuah film, pasti saya sangat subjektif dari sudut pandang saya
ketika menilai.
(KRL Depok ke Tanah Abang / 27 Januari 2014)
Comments
Post a Comment