Belajar dari 15 Film Horor Indonesia



Suatu kali di dalam hidup ini, saya ingin melakukan sesuatu yang beda dari biasanya. Saya sadar betul bahwa sumbangsih saya terhadap film Indonesia bisa dikatakan tidak ada, tidak seperti yang lain, yang berhasil menorehkan namanya ke dalam sejarah perfilman di negeri ini. Hingga suatu kali di tahun 2013, saya menemukan ide untuk mengumpulkan #1001TiketFilmIndonesia. Artinya, kalau saya berhasil mengumpulkan tiket sebanyak itu, berarti saya sudah menonton kurang-lebih 1001 Tiket Film hasil karya anak negeri.

Saya memulai kebiasaan ini saat pertama kali nonton film Perawan Seberang, tepatnya tanggal 3 September 2013. Tiba-tiba saya terpikir untuk rajin menonton film Indonesia, dengan alasan, ingin tahu kemana larinya uang yang saya belikan untuk selembar tiket saat menonton film bioskop? Tapi hal itu justru membuat saya berkenalan dengan mas Toto Soegriwo dari Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia, disingkat menjadi GPBSI. Lantas kami membuat sebuah grup facebook yang fokus ke bioskop, bahkan kemudian saya membuat grup-grup lain yang fokus ke penonton film Indonesia (saya singkat sebagai Pofin).

Makin sering saya menonton film Indonesia, lama-lama saya menemukan bahwa film horor termasuk sebagai salah satu film yang sering dibuat. Saya pun jadi penasaran, kenapa Produser paling senang membuat film horor ketimbang film yang lain? Kenapa nggak dibanyakin film drama, atau mungkin komedi, atau malah film politik yang isinya ngobroool terus (seperti film Lincoln-nya, Steven Spielberg)?

Inilah daftar film horor Indonesia selama saya menjalani program #1001TiketFilmIndonesia, antara lain:

1. Perawan Seberang
9. 308

Yang mau saya bahas adalah, bagaimana membuat film horor agar bisa laku di pasaran? Catatan ini bukanlah sesuatu yang ilmiah, namun hanya pandangan subjektif saya dari kacamata Pofin. Soalnya fenomena terakhir yang saya temukan, tetap horor yang menjadi nilai jual bagi para Produser. Jadi kalo menurut saya, kenapa harus malu membuat film horor? Toh sekelas Sam Raimi yang bikin Spiderman aja pernah bikin film horor. Kenapa horor jadi bahan tertawaan, terkesan cemen di mata para penonton kita? Padahal horor adalah tontonan yang paling asyik buat mereka yang baru pedekate, alias cari-cari kesempatan di dalem bioskop. Hehe... Tapi abis itu 6 kali cuci tangan pakai sabun dan yang ke-7 pakai tanah.

Sebut saja formula yang dipakai oleh Taman Lawang sebagai film horor dengan jumlah penonton terbanyak tahun 2013. Sudah nggak bisa dibantah, kekuatan pemain yang jadi faktor utama kenapa film ini laku. Pemainnya adalah Olga Syahputra, salah satu publik figur Indonesia yang punya karakter khas. Olga adalah sosok yang nggak sembarangan, dalam artian, meskipun ada image yang nggak enak tentang dia, namun Olga juga punya image lain yang berkesan bahwa dia peduli terhadap sesama.

Jadi enak ngomongnya begini, Olga adalah karakter yang lekat di hati penontonnya karena dia memang merakyat. Memasang Olga di dalam sebuah film, bisa menjadi nilai jual tersendiri. Nggak sekedar lucu-lucuan tapi bisa bikin penontonnya suka nyeletuk... Kasihan si Olga. Atau celetukan lain... Olga walo begitu, orangnya baek. Atau... Olga tuh seorang kakak yang sayang sama adiknya. Pokoknya image Olga tuh jelas-jelas penontonnya banyak. Anak kecil, bapak-bapak, apalagi ibu-ibu, semua kenal sama Olga. Mereka mentertawakan, mencaci, sebel, bahkan sayang ke karakter satu ini. Ini adalah nilai jual pertama, kalo menurut saya.

Nilai jual kedua tak lain dan tak bukan adalah judul. Taman Lawang (kita singkat saja menjadi TL)... Ini adalah sebuah tempat yang membuat orang-orang di Jakarta tahu tempat itu identik dengan apa. TL adalah sebuah standar gaul bagi anak-anak muda, apalagi di zaman saya kuliah dulu (kisaran tahun 1996-2000), kayaknya nggak gahol banget kalo nggak tau daerah tersebut. Ini adalah nilai jual kedua yang bisa menjadi catatan bagi para movers (moviemakers).

Tehnik menggunakan sebuah tempat untuk dijadikan materi film horor lain yang cukup fenomenal adalah Hantu Ambulance. Uniknya, ketika saya bertemu dengan my partners di FrameMagz (Bandung), mereka cerita bahwa tempat tersebut justru berubah menjadi distro. Ambulance yang terparkir di depan rumah tetap dipajang, menjadi semacam simbol marketing.

Bahkan sampai hari ke-30 di tahun 2014 ini, peringkat pertama pendapatan penonton di film Indonesia tetap berasal dari Urband Legend. Judulnya adalah Malam Suro di Rumah Darmo, yang trailernya sempat memikat saya karena penampilan memikat dari Mpok Nori. Maka saya simpulkan bahwa, untuk membuat film horor di Indonesia ya musti sering-sering mengulik tentang cerita urban yang memakai sebuah tempat dan cerita hantu yang ada di dekatnya.



(Sekitaran Rumah Sakit Islam Pondok Kopi, Jakarta / 30 Januari 2014)








Comments