Perbedaan Sensor dan Komisi Penyiaran

http://on.fb.me/1fZXlO7

Saya baru inget, ada perbedaan antara Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Perbedaan-perbedaan inilah yang perlu diketahui masyarakat, agar mereka bisa tahu peranan dan tugas masing-masing. Ini menyangkut pengaduan ke depan, jika ada dari masyarakat maupun Pofin (Penonton Film Indonesia) merasa ada yang kurang sreg dengan film-film Indonesia.

Penjelasan saya ini masih sepengetahuan saya saja, lho. Jadi kalau ada yang kurang tepat, mohon dibenahi. Mungkin dengan pembenahan itu, akan ada ruang lingkup tugas antara LSF dan KPI yang bisa dibenahi. Gak tumpang-tindih sehingga menimbulkan persepsi yang salah, kadang-kadang.

Oke kita mulai. Jika saya hendak membuat film, terus film tersebut rupanya akan menimbulkan kontroversi (seperti halnya film Evita, yang dulu menimbulkan kontroversi karena yang main adalah Madonna), maka pertanyaannya kita akan mengadu kemana? Sebagai masyarakat kita pasti ingin mengadukan hal tersebut, jangan sampai tokoh penting seperti Evita menjadi tontonan yang salah persepsi.

Saya rasa, sebelum film dibuat sebaiknya kita mengadu ke LSF. Merekalah yang nantinya akan mengawasi kalau-kalau ada salah penafsiran sehingga menimbulkan masalah di masyarakat nantinya. Ketika proses syuting pun, masyarakat berhak melaporkan kalau-kalau ada yang janggal dengan kisah filmnya. 

Saat film itu jadi, LSF berhak menilai bagian mana yang layak ditonton dan bagian mana yang harusnya disensor. Ini Indonesia, apalagi untuk isu-isu yang berbau SARA masih sensitif. Kalau tidak hati-hati, yang seperti ini justru menimbulkan perpecahan. Inilah yang perlu dipahami oleh para movers (moviemakers) bahwa masyarakat kita masih belum siap menerima sesuatu yang kontroversinya terlalu blak-blakan (istilah saya).

Ketika film itu tayang di bioskop dan menimbulkan kontroversi, maka yang musti bertanggung jawab adalah LSF. Di sinilah beratnya tugas LSF itu, soalnya, mereka sendiri pun sulit membedakan mana film yang pantas ditonton masyarakat Indonesia dan mana yang tidak? Sederhananya, bagaimana mungkin mereka bisa menebak pikiran orang-orang Indonesia yang jumlahnya ratusan juta itu? Kalau mau dibuat pembagiannya, akan bagaimana? Okelah kalo etnis, warna kulit, dan ciri-ciri fisiologis lainnya bisa  digolongkan. Kalau udah urusannya psikologis? Wah, sampai ubanan juga nggak bakalan ketemu.

Jreng! Film pun selesai tayang di bioskop dengan menyisakan kontroversi, seperti contohnya "Soekarno / Soekarno : Indonesia Merdeka". Ini akan menjadi studi pembahasan saat nanti akan tayang di Televisi. Respon masyarakat, terus argumen para pemerhati film, semua dijadikan pembelajaran. Mulailah KPI turun tangan di sini, soalnya mereka nggak mau kalo film tersebut tayang di Televisi ternyata berbuah kontroversi yang lebih "wah" lagi. KPI agak lebih keras, soalnya siapa yang akan mengawasi tontonan di Televisi? Kalo bioskop masih bisa dipantau dari pintu masuk studio, kalo Televisi? 

Sebagai contoh, akan bagaimana reaksi anak SMP melihat tokoh Indonesia (seperti di film Soekarno) yang nyaris mencium bibir gadis Belanda? Adegan seperti itu ada 2 penafsiran. Kalo penafsirannya positif, bisa berarti, bahwa tokoh ini nggak ada takut-takutnya sama Belanda. Semacam memberi pemikiran, kalau orang Belanda sesuka hati menaklukkan gadis Indonesia, kenapa kita nggak boleh menaklukkan gadis mereka? Kira-kira begitu.

Yang jadi masalah itu kalau penafsirannya negatif, akan bagaimana jadinya nanti? Masak akan muncul kalimat begini di pelajaran sekolah... Orang tokoh Indonesia saja mau nyium cewek Belanda kok, Pak? Berarti kita boleh juga, dong. Nah, yang begini bisa jadi masalah besar. Apalagi kalo disesuaikan dengan kultur kita yang identik dengan ketimuran. #ContohLho

Ketika film itu tayang di TV juga jadi penelitian, apakah pesan utama di film tersebut sampai? Jangan malah pesannya nggak sampai, tapi malah kontroversinya doang yang sampai. Kalo versi saya, inti dari film Soekarno kemaren adalah... Walau bagaimana pun Soekarno adalah manusia biasa. Dia juga punya kelebihan, dia juga punya kekurangan. Tapi usaha dia dan yang lain di zaman itu yang penting. Mereka berjuang lahir dan batin untuk memerdekakan Indonesia.

Jika film itu sudah tayang di TV, KPI tetap menerima pengaduan dari masyarakat. Hasil pengaduan inilah yang nanti menjadi semacam studi, bahwa seperti apa respon masyarakat kita terhadap film Soekarno. Negatifkah? Positifkah? Atau malah kebingungan? Respon atau feedback inilah yang nanti akan menjadi acuan bagi pembuatan film selanjutnya.

#EnakNgomongnyaBegitu



Comments