![]() |
Saya baru inget, ada
perbedaan antara Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Perbedaan-perbedaan inilah yang perlu diketahui masyarakat, agar mereka
bisa tahu peranan dan tugas masing-masing. Ini menyangkut pengaduan ke depan,
jika ada dari masyarakat maupun Pofin (Penonton Film Indonesia )
merasa ada yang kurang sreg dengan film-film Indonesia .
Penjelasan saya ini masih
sepengetahuan saya saja, lho. Jadi kalau ada yang kurang tepat, mohon dibenahi.
Mungkin dengan pembenahan itu, akan ada ruang lingkup tugas antara LSF dan KPI
yang bisa dibenahi. Gak tumpang-tindih sehingga menimbulkan persepsi yang
salah, kadang-kadang.
Oke kita mulai. Jika saya
hendak membuat film, terus film tersebut rupanya akan menimbulkan kontroversi
(seperti halnya film Evita, yang dulu menimbulkan kontroversi karena yang main
adalah Madonna), maka pertanyaannya kita akan mengadu kemana? Sebagai
masyarakat kita pasti ingin mengadukan hal tersebut, jangan sampai tokoh
penting seperti Evita menjadi tontonan yang salah persepsi.
Saya rasa, sebelum film
dibuat sebaiknya kita mengadu ke LSF. Merekalah yang nantinya akan mengawasi kalau-kalau ada salah penafsiran sehingga menimbulkan masalah di masyarakat
nantinya. Ketika proses syuting pun, masyarakat berhak melaporkan kalau-kalau ada yang janggal dengan kisah filmnya.
Saat film itu jadi, LSF berhak menilai bagian mana yang
layak ditonton dan bagian mana yang harusnya disensor. Ini Indonesia ,
apalagi untuk isu-isu yang berbau SARA masih sensitif. Kalau tidak hati-hati,
yang seperti ini justru menimbulkan perpecahan. Inilah yang perlu dipahami oleh
para movers (moviemakers) bahwa masyarakat kita masih belum siap menerima sesuatu yang
kontroversinya terlalu blak-blakan (istilah saya).
Ketika film itu tayang di
bioskop dan menimbulkan kontroversi, maka yang musti bertanggung jawab adalah
LSF. Di sinilah beratnya tugas LSF itu, soalnya, mereka sendiri pun sulit
membedakan mana film yang pantas ditonton masyarakat Indonesia dan mana yang tidak?
Sederhananya, bagaimana mungkin mereka bisa menebak pikiran orang-orang Indonesia yang
jumlahnya ratusan juta itu? Kalau mau dibuat pembagiannya, akan bagaimana?
Okelah kalo etnis, warna kulit, dan ciri-ciri fisiologis lainnya bisa digolongkan. Kalau udah urusannya psikologis?
Wah, sampai ubanan juga nggak bakalan ketemu.
Jreng! Film pun selesai
tayang di bioskop dengan menyisakan kontroversi, seperti contohnya
"Soekarno / Soekarno : Indonesia Merdeka". Ini akan menjadi studi
pembahasan saat nanti akan tayang di Televisi. Respon masyarakat, terus argumen
para pemerhati film, semua dijadikan pembelajaran. Mulailah KPI turun tangan di sini, soalnya mereka nggak mau kalo film tersebut
tayang di Televisi ternyata berbuah kontroversi yang lebih "wah"
lagi. KPI agak lebih keras, soalnya siapa yang akan mengawasi tontonan di
Televisi? Kalo bioskop masih bisa dipantau dari pintu masuk studio, kalo
Televisi?
Sebagai contoh, akan bagaimana reaksi anak SMP melihat tokoh Indonesia
(seperti di film Soekarno) yang nyaris mencium bibir gadis Belanda? Adegan seperti itu ada 2
penafsiran. Kalo penafsirannya positif, bisa berarti, bahwa tokoh ini nggak ada
takut-takutnya sama Belanda. Semacam memberi pemikiran, kalau orang Belanda
sesuka hati menaklukkan gadis Indonesia ,
kenapa kita nggak boleh menaklukkan gadis mereka? Kira-kira begitu.
Yang jadi masalah itu kalau
penafsirannya negatif, akan bagaimana jadinya nanti? Masak akan muncul kalimat
begini di pelajaran sekolah... Orang tokoh Indonesia saja mau nyium cewek
Belanda kok, Pak? Berarti kita boleh juga, dong. Nah, yang begini bisa jadi
masalah besar. Apalagi kalo disesuaikan dengan kultur kita yang identik dengan
ketimuran. #ContohLho
Ketika film itu tayang di TV
juga jadi penelitian, apakah pesan utama di film tersebut sampai? Jangan malah
pesannya nggak sampai, tapi malah kontroversinya doang yang sampai. Kalo versi
saya, inti dari film Soekarno kemaren adalah... Walau bagaimana pun Soekarno
adalah manusia biasa. Dia juga punya kelebihan, dia juga punya kekurangan. Tapi
usaha dia dan yang lain di zaman itu yang penting. Mereka berjuang lahir dan
batin untuk memerdekakan Indonesia .
Jika film itu sudah tayang
di TV, KPI tetap menerima pengaduan dari masyarakat. Hasil pengaduan inilah
yang nanti menjadi semacam studi, bahwa seperti apa respon masyarakat kita
terhadap film Soekarno. Negatifkah? Positifkah? Atau malah kebingungan? Respon
atau feedback inilah yang nanti akan menjadi acuan bagi pembuatan film
selanjutnya.
#EnakNgomongnyaBegitu
Comments
Post a Comment