![]() |
Saya tidak sengaja membaca tabel tentang
perbandingan film nasional dan film asing. Tahun 2007 saja, film asing yang
masuk ke Indonesia ada 296 buah. Sementara produksi film Indonesia ada 53 buah.
Enak ngitungnya, berarti film asing yang masuk ke Indonesia nyaris 6 kali
lipat. Jadi perbandingannya, setiap satu produksi film Indonesia akan bersaing
dengan 6 film asing yang masuk. Gila! Kalo begini caranya sama juga bohong,
dong. Percuma ada banyak movers (moviemakers) di Indonesia kalo film asing
banyak masuk. Sama aja kayak kita punya warung pecel lele, tapi yang laku di
warung kita justru burger.
Tahun 2008 agak berubah skenarionya. Film asing
yang masuk ke Indonesia ada 185 buah, sementara produksi dalam negeri ada 87
buah. Anggap saja perbandingannya 2 kali lipat, yang artinya, setiap 1 kali tayang
film Indonesia sama dengan 2 film asing yang masuk.
Tahun 2013 (data sampai 13 November 2013) ada 187
film asing yang masuk, sementara produksi film Indonesia meningkat jadi 96
buah. Lumayan ada peningkatan, tapi masih kurang enak dilihat.
Maksudnya begini, kalau memang kita ingin memaksimalkan
potensi penonton Film Indonesia, mau nggak mau perbandingannya 50 : 50. Misal
film asing yang masuk ke Indonesia ada 100 buah, maka film Indonesia yang
tayang di bioskop harus juga 100 buah. Nah, gimana cara ngaturnya? Terus
terang, saya juga masih pusing kalo yang ini. Hehe...
Saya bukan benci sama film asing yang masuk ke
Indonesia, toh kita tetap butuh film-film yang menjadi trendsetter dunia, agar
movers Indonesia punya kesempatan untuk belajar. Tapi paling nggak, masalah
jumlah yang masuk mustinya sepadan. Enak ngomongnya, biar imbanglah. Biar
movers Indonesia punya kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya.
Saya juga kurang paham banget, gimana caranya agar
tercipta iklim 50 : 50 tersebut? Kalo dari hasil obrol-obrol dengan IKAFI (Ikatan
Alumni FFTV IKJ) dan GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia),
kuncinya ada di regulasi. Kalo yang saya tangkap sih, ini masalah Undang Undang
Perfilman Indonesia nomer 33 tahun 2009. Inilah yang nantinya akan menjadi
pembahasan di Munas (Musyawarah Nasional) BPI (Badan Perfilman Indonesia) yang
kalau tidak ada halangan, akan dilaksanakan pada tanggal 12-13 Desember 2013 ini.
Jujur saja, saya salut sama kerja keras
teman-teman di IKAFI. Indrayanto, Om Dudung, Mas Arturo, Yaya, Kiky, Popoy, Adrai,
dsb. Belum lagi mas Toto Soegriwo dari GPBSI, Lance dari IMPAS, Ki Kusumo, dsb.
Mereka sudah meluangkan waktu banyak untuk membahas masalah ini, yang mungkin
buat sebagian orang nggak penting. Padahal mereka memikirkan nasib perfilman
Indonesia ke depan, lho.
Satu hal yang saya ingat adalah, rencana strategis
BPI untuk 20 tahun ke depan. Rencana strategis inilah yang selalu saya bawa
kemana-mana, sambil sesekali dibaca. Maka seperti yang saya bilang ke Adrai
(partner saya di bagian media IKAFI), mending kita bagi-bagi tugas sekarang.
Biar saya concern ke tulisan (dan sedang mengarah ke aplikasi) mengenai industri
hilir perfilman Indonesia. Fokusnya ke #1001TiketFilmIndonesia.
Kenapa begitu? Karena membahas tentang Penonton Film
Indonesia (mending mulai sekarang saya singkat jadi PONFIN ngkale, ya?) sama
dengan mengangkat Industri Film Indonesia.
Logika sotoy saya sih begitu!

Comments
Post a Comment