Pelajaran Usai Menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

http://on.fb.me/1biGGjC

Yang ada di kepala saya saat hendak menonton Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah, Pevita Pearce. Memang akhir-akhir ini banyak yang ngefans sama dia. Di darat, di laut, di udara banyak yang ngefans. Cuma saya saja yang nggak ngefans sama Pevita Pearce. #BoongBangets

Kalo diinget-inget, ini karena penampilan dia sebagai Dinda di film 5 cm. Pevita berperan sebagai Hayati di film ini, tokoh utama wanita yang memadu kasih dengan Zainuddin (Herjunot Ali). Tapi maaf bukannya saya sombong, bukannya saya gegabah, bukannya saya benci... Saya nggak mau cerita mengenai kisah yang ada di film ini. Saya hanya ingin cerita pengalaman saya menonton film ini. Gimana pengalamannya? Kita saksikan setelah pesan-pesan berikut ini!

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang Penonton Film Indonesia (Pofin) yang ganteng bernama Jalton. Dia lagi bokek berat, tapi pengen nonton film Indonesia. Bukan apa-apa, dia sudah memulai program 1001 Tiket Film Indonesia dan ingin meneruskannya. Sayang kan, apa yang sudah dimulai kok tiba-tiba harus berhenti? Maka Jalton mendatangi 21 Intenasional Plaza, (IP) Palembang.

Ternyata penonton membludak, mau tak mau Jalton harus ngantri bersama calon penonton lain. Mana badan lemes, mata sayu, bibir kering, sambil mikir... Ini antrian kok nggak kelar-kelar, ya? Muncullah kemudian seorang bidadari... Jreng! Dengan langkahnya, dengan pakaiannya yang serba hitam, dengan senyumnya yang ramah. Dia bernama Ceni yang bilang...

Ceni : Kak! Kalu nunggu ini penuh. Mending langsung bae, agek kami sisoke sikok bangku.
Saya : Tapi aku kan butuh tiketnyo jugo. Mangkonyo harus beli!
Ceni : Agek aku carike kalu ado yang nyiso di dalam bioskop. Biasonyo galak ado yang dibuang.

Pikir saya, okelah kalau begitu. Ini untuk pertama kalinya saya menonton bioskop di IP, gratis, tapi dapet tiket pulak. Maksudnya, tiket sisa orang yang nonton. Jadi bohong banget kalo saya bilang tadi di twitter, bahwa saya beli tiket film Van der Wijck ini. Sorry, ya! Soalnya mau bohong kayaknya nggak enak banget. Mending jujur aja, deh.

Alhasil saya pun nonton Van Der Wijck, dapat tiket, plus nonton di samping pasangan yang asyik. Cowoknya adalah seorang guru di sebuah SMK Perbankan, Palembang. Lupa nama SMA-nya. Saya malah mau nanya nomer hape ceweknya, berhubung nggak berani, mending nggak usah. Ngajakin perang di bioskop apa? Wkwkwkwk...

Nontonlah kami di dalam bioskop, yang ada di kepala saya saat itu adalah... Wuih! Herjunot Ali dialognya unik. Agak-agak Makassar, tapi kok campur Padang. Saya jadi mikir, memang seru melihat penampilan aktor yang memainkan sebuah peran memakai dialog daerah tertentu. Kayak kita melihat Indonesia dari berbagai macam sudut pandang. Kebayang, kan? Kalo satu bahasa daerah di Indonesia diwakili sama satu film, maka, akan berapa banyak film yang dibuat? Orang Indonesia itu kaya akan bahasa daerah.

Waktu sahabat saya (Firmansyah / Sutradara 2 Van der Wijck) memberitahu kalau dia sedang mengerjakan Van der Wijck, saya sempat terpikir, wah bakal keren nih film. Dan ternyata memang keren, namun sayangnya film ini kurang berhasil melelehkan air mata saya sebagai Pofin. Nggak ngerti deh, mungkin karena terkesima dengan dialognya, jadi perhatian tertuju ke sana. Atau...

Mungkin karena saya masuk ke dalam karakter Zainudin, dan ikut ke dalam kebenciannya karena cinta. Ini yang membuat saya nggak bisa melelehkan air mata, karena memang benci itu sebenarnya marah dan bukan menangis. Malah di beberapa adegan saat Junot berakting menangis, saya dan penonton malah mentertawakan dia. Saya juga heran, kok malah kami ketawa, ya?

Di sinilah saya jadi inget karakter Junot ini seperti apa. Saat main di dalam film 5 cm, Junot memerankan karakter... Bang Zafraaan. Image Junot sebagai Zafran sang penyair cinta sudah melekat di dirinya. Mungkin inilah yang membuat saya dan penonton lain beranggapan bahwa, Junot ya si Zafran. Mau dia berubah jadi Zainudin, Junot tetap Zafran di hati kami.

Terus dialog-dialog cintanya asli lebay banget, deh. Zaman bapak-bapak dulu. Tapi jujur saja, saya justru rindu dengan dialog-dialog gini. Mungkin sebenarnya bukan salah akting Junot juga, tapi dialognya yang memang lebay dan nggak kekinian. Gimana, ya? Lebay tapi suka dan bikin gemes geto loh. Jadi bukan lebay tapi eneg, tapi lebay unyu-unyu ngangenin. Kayak saya kangen berat sama dedek Pevita. Kangen bahwa, nggak ada yang memisahkan cinta kami... Kekasihku. #NgomongAmaKuda

Cuma satu yang saya sesalkan setelah menonton ini. Kenapaaa nonton film Van der Wijck sendirian, ya? Kenapa nggak ngajak wedok?


Comments