![]() |
Yang ada di kepala saya saat hendak menonton
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah, Pevita Pearce. Memang akhir-akhir ini
banyak yang ngefans sama dia. Di darat, di laut, di udara banyak yang ngefans.
Cuma saya saja yang nggak ngefans sama Pevita Pearce. #BoongBangets
Kalo diinget-inget, ini karena penampilan dia
sebagai Dinda di film 5 cm.
Pevita berperan sebagai Hayati di film ini, tokoh utama wanita yang memadu
kasih dengan Zainuddin (Herjunot Ali). Tapi maaf bukannya saya sombong,
bukannya saya gegabah, bukannya saya benci... Saya nggak mau cerita mengenai
kisah yang ada di film ini. Saya hanya ingin cerita pengalaman saya menonton
film ini. Gimana pengalamannya? Kita saksikan setelah pesan-pesan berikut ini!
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang Penonton
Film Indonesia (Pofin)
yang ganteng bernama Jalton.
Dia lagi bokek berat, tapi pengen nonton film Indonesia. Bukan apa-apa, dia
sudah memulai program 1001 Tiket Film Indonesia dan ingin meneruskannya. Sayang kan, apa yang sudah
dimulai kok tiba-tiba harus berhenti? Maka Jalton mendatangi 21 Intenasional Plaza, (IP) Palembang.
Ternyata penonton membludak,
mau tak mau Jalton harus ngantri bersama calon penonton lain. Mana badan lemes,
mata sayu, bibir kering, sambil mikir... Ini antrian kok nggak kelar-kelar, ya?
Muncullah kemudian seorang bidadari... Jreng! Dengan langkahnya, dengan pakaiannya yang serba hitam, dengan
senyumnya yang ramah. Dia bernama Ceni yang bilang...
Ceni : Kak! Kalu nunggu ini penuh. Mending
langsung bae, agek kami sisoke sikok bangku.
Saya : Tapi aku kan butuh tiketnyo jugo. Mangkonyo
harus beli!
Ceni : Agek aku carike kalu ado yang nyiso di dalam
bioskop. Biasonyo galak ado yang dibuang.
Pikir saya, okelah kalau begitu. Ini untuk pertama
kalinya saya menonton bioskop di IP, gratis, tapi dapet tiket pulak. Maksudnya,
tiket sisa orang yang nonton. Jadi bohong banget kalo saya bilang tadi di twitter, bahwa saya beli tiket film Van der
Wijck ini. Sorry, ya! Soalnya mau bohong kayaknya nggak enak banget. Mending
jujur aja, deh.
Alhasil saya pun nonton Van Der Wijck, dapat
tiket, plus nonton di samping pasangan yang asyik. Cowoknya adalah seorang guru
di sebuah SMK Perbankan, Palembang. Lupa nama SMA-nya. Saya malah mau nanya
nomer hape ceweknya, berhubung nggak berani, mending nggak usah. Ngajakin
perang di bioskop apa? Wkwkwkwk...
Nontonlah kami di dalam bioskop, yang ada di
kepala saya saat itu adalah... Wuih! Herjunot Ali dialognya unik. Agak-agak
Makassar, tapi kok campur Padang. Saya jadi mikir, memang seru melihat
penampilan aktor yang memainkan sebuah peran memakai dialog daerah tertentu. Kayak
kita melihat Indonesia dari berbagai macam sudut pandang. Kebayang, kan? Kalo satu bahasa daerah di Indonesia
diwakili sama satu film, maka, akan berapa banyak film yang dibuat? Orang
Indonesia itu kaya akan bahasa daerah.
Waktu sahabat saya (Firmansyah /
Sutradara 2 Van der Wijck) memberitahu kalau dia sedang mengerjakan Van der
Wijck, saya sempat terpikir, wah bakal keren nih film. Dan ternyata memang
keren, namun sayangnya film ini kurang berhasil melelehkan air mata saya
sebagai Pofin. Nggak ngerti deh, mungkin karena terkesima dengan dialognya,
jadi perhatian tertuju ke sana. Atau...
Mungkin karena saya masuk ke dalam karakter
Zainudin, dan ikut ke dalam kebenciannya karena cinta. Ini yang membuat saya
nggak bisa melelehkan air mata, karena memang benci itu sebenarnya marah dan
bukan menangis. Malah di beberapa adegan saat Junot berakting menangis, saya
dan penonton malah mentertawakan dia. Saya juga heran, kok malah kami ketawa,
ya?
Di sinilah saya jadi inget karakter Junot ini
seperti apa. Saat main di dalam film 5 cm, Junot memerankan karakter... Bang
Zafraaan. Image Junot sebagai Zafran sang penyair cinta sudah melekat di
dirinya. Mungkin inilah yang membuat saya dan penonton lain beranggapan bahwa,
Junot ya si Zafran. Mau dia berubah jadi Zainudin, Junot tetap Zafran di hati
kami.
Terus dialog-dialog cintanya asli lebay banget,
deh. Zaman bapak-bapak dulu. Tapi jujur saja, saya justru rindu dengan dialog-dialog
gini. Mungkin sebenarnya bukan salah akting Junot juga, tapi dialognya yang
memang lebay dan nggak kekinian. Gimana, ya? Lebay tapi suka dan bikin gemes
geto loh. Jadi bukan lebay tapi eneg, tapi
lebay unyu-unyu ngangenin. Kayak saya kangen berat sama dedek Pevita.
Kangen bahwa, nggak ada yang memisahkan cinta kami... Kekasihku.
#NgomongAmaKuda
Cuma satu yang saya sesalkan setelah menonton ini.
Kenapaaa nonton film Van der Wijck sendirian, ya? Kenapa nggak ngajak wedok?
Comments
Post a Comment