Catatan Setelah Menonton Film Soekarno

http://bit.ly/JbRf1y

Saya bingung mau bilang apa, yang pasti, film ini layak ditonton oleh generasi muda kita. Waktu di awal film ada tulisan, bahwa kita diminta berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, jujur saja, saya malu-malu menyanyikannya. Nggak ngerti juga kenapa? Saya kok jadi mikir, kenapa saya malu menyanyikan lagu Indonesia Raya? Padahal Hanung dkk sudah jelas mengajak kita untuk menyanyikannya lewat film ini.

Ini fenomena baru dalam perfilman kita, dimana penonton bioskop diajak untuk berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan. Nggak tau deh, di luar negeri ada yang kayak gini atau enggak? Kalo nggak ada, berarti Soekarno adalah film pertama yang mengajak penontonnya berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan. Rasa malu yang ada pada diri saya saat menyanyikan lagu ini terjadi karena, ini tidak biasa. Belum pernah rasanya dalam sejarah saya menonton film di bioskop, ada kesempatan kayak gini.

Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepala saya? Apa gara-gara ini berarti, saya malu menjadi bangsa Indonesia? Kalo saya hubungkan dengan apa sumbangsih saya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), lha memang iya. Saya hanya orang biasa yang jauh jika dibandingkan dengan tokoh Soekarno, yang sering disebut dengan panggilan, founding father. Untuk itulah saat saya menonton film ini, yang saya siapkan adalah membuat diri saya masuk ke dalam tokoh Soekarno. Kalo dalam bahasa skenario-nya, ini disebut dengan istilah... Identifikasi. Jadi saya menjadi Soekarno saat menonton film ini.

Luar biasa memang! Bagaimana seorang Soekarno mengalami pergolakan batin saat melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa rakyat Indonesia dipekerjakan secara paksa (romusha). Sementara Soekarno harus berbaik-baik dengan Jepang, agar rakyat yang lain tidak disiksa lagi. Pendekatan Soekarno adalah pendekatan kooperatif, karena memang Jepang seperti tidak memberi pilihan kepada tokoh yang sepanjang film dipanggil “Bung” ini.

Bung Karno harus berhadapan dengan situasi dimana para pemuda di zaman itu nampak tidak sabar ingin segera merdeka. Tapi Bung Karno penuh pertimbangan, bukan apa-apa, dia tidak mau kalau rakyat nekad untuk merdeka justru berakibat fatal bagi diri mereka sendiri. Sebuah perjuangan batin yang luar biasa, sebab tidak mudah untuk menghadapi situasi seperti ini. Kasarnya, Bung Karno berani mengambil resiko untuk menanggung semua penderitaan rakyat hingga saatnya tiba kemerdekaan. Apa dia berhasil?

Konflik internal yang ada di dalam keluarga Bung Karno juga menjadi masalah, tapi untung bukan ini yang ditonjolkan oleh Ben Sihombing (salut). Sebuah pelajaran bahwa resiko menjadi pemimpin orang banyak, ya seperti itu. Bung Karno fokus kepada tujuannya untuk memerdekaan Indonesia, tapi kapan?

Saya bisa merasakan betapa zaman itu kondisi serba membingungkan. Yang paling menarik adalah saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI / BPUPKI) mengadakan rapat. Saat itu mereka pada ribut, dasar negara yang akan dibentuk ini apa? Ada yang ngotot memakai syariat Islam, ada yang monarki, dsb. Tapi Soekarno langsung maju dan mengatakan bahwa dasar negara adalah Pancasila. Memang tidak mudah untuk merumuskan semuanya menjadi satu dalam sebuah dasar negara, apalagi zaman itu, semua sudah serba complicated.

Terus yang menarik lagi saat merumuskan pidato proklamasi, ternyata itu tidak mudah. Butuh kata-kata yang pas agar pidato tersebut bisa dibuat dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kenapa bisa begitu? Ya, karena kita merdeka memanfaatkan kondisi yang secara gampangnya... ASAP (As Soon As Possible). Atau secara kasarnya... Kalo mau merdeka ya sekarang, bukan nanti. Seperti berada dalam pilihan, merdeka sekarang atau terus-terusan dijajah? Pilih mana?

Dan ketika Soekarno berhasil memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, saat itu juga saya tidak bisa nafas di bangku penonton. Ini benar-benar perjuangan yang luar biasa, sebab tidak mudah untuk mencapai kemerdekaan itu.

Lalu saya selesai menonton film untuk kemudian keluar bioskop. Tidak seperti menonton film heroik yang saat keluar, kita masih berasa seperti jagoan yang ada di dalam film. Saya keluar justru dengan sebuah tanda tanya, apakah saya sudah benar-benar merdeka sekarang? Apakah saya masih malu menyanyikan lagu Indonesia Raya seperti di bioskop tadi? Apa itu berarti saya malu menjadi bangsa Indonesia?

Saat mengetik ini justru saya tidak malu. Saya marah sama diri sendiri, kenapa saya selalu merasa tidak merdeka?

#JanganTanyaGoogle


Comments