![]() |
Saya bingung mau bilang apa, yang pasti, film ini layak ditonton oleh generasi muda kita. Waktu
di awal film ada tulisan, bahwa kita diminta berdiri untuk menyanyikan lagu
Indonesia Raya, jujur saja, saya malu-malu menyanyikannya. Nggak ngerti juga
kenapa? Saya kok jadi mikir, kenapa saya malu menyanyikan lagu Indonesia Raya?
Padahal Hanung dkk sudah jelas mengajak kita untuk menyanyikannya lewat film
ini.
Ini fenomena baru dalam perfilman kita, dimana
penonton bioskop diajak untuk berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan. Nggak
tau deh, di luar negeri ada yang kayak gini atau enggak? Kalo nggak ada,
berarti Soekarno adalah film pertama yang mengajak penontonnya berdiri untuk
menyanyikan lagu kebangsaan. Rasa malu yang ada pada diri saya saat menyanyikan
lagu ini terjadi karena, ini tidak biasa. Belum pernah rasanya dalam sejarah
saya menonton film di bioskop, ada kesempatan kayak gini.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepala saya?
Apa gara-gara ini berarti, saya malu menjadi bangsa Indonesia? Kalo saya
hubungkan dengan apa sumbangsih saya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), lha memang iya. Saya hanya orang biasa yang jauh jika
dibandingkan dengan tokoh Soekarno, yang sering disebut dengan panggilan,
founding father. Untuk itulah saat saya menonton film ini, yang saya siapkan
adalah membuat diri saya masuk ke dalam tokoh Soekarno. Kalo dalam bahasa
skenario-nya, ini disebut dengan istilah... Identifikasi. Jadi saya menjadi
Soekarno saat menonton film ini.
Luar biasa memang! Bagaimana seorang Soekarno mengalami
pergolakan batin saat melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa rakyat
Indonesia dipekerjakan secara paksa (romusha). Sementara Soekarno harus
berbaik-baik dengan Jepang, agar rakyat yang lain tidak disiksa lagi. Pendekatan
Soekarno adalah pendekatan kooperatif, karena memang Jepang seperti tidak
memberi pilihan kepada tokoh yang sepanjang film dipanggil “Bung” ini.
Bung Karno harus berhadapan dengan situasi dimana
para pemuda di zaman itu nampak tidak sabar ingin segera merdeka. Tapi Bung
Karno penuh pertimbangan, bukan apa-apa, dia tidak mau kalau rakyat nekad untuk
merdeka justru berakibat fatal bagi diri mereka sendiri. Sebuah perjuangan
batin yang luar biasa, sebab tidak mudah untuk menghadapi situasi seperti ini.
Kasarnya, Bung Karno berani mengambil resiko untuk menanggung semua penderitaan
rakyat hingga saatnya tiba kemerdekaan. Apa dia berhasil?
Konflik internal yang ada di dalam keluarga Bung
Karno juga menjadi masalah, tapi untung bukan ini yang ditonjolkan oleh Ben
Sihombing (salut). Sebuah pelajaran bahwa resiko menjadi pemimpin orang banyak,
ya seperti itu. Bung Karno fokus kepada tujuannya untuk memerdekaan Indonesia,
tapi kapan?
Saya bisa merasakan betapa zaman itu kondisi serba
membingungkan. Yang paling menarik adalah saat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI / BPUPKI) mengadakan rapat. Saat itu mereka pada ribut, dasar
negara yang akan dibentuk ini apa? Ada yang ngotot memakai syariat Islam, ada
yang monarki, dsb. Tapi Soekarno langsung maju dan mengatakan bahwa dasar
negara adalah Pancasila. Memang tidak mudah untuk merumuskan semuanya menjadi
satu dalam sebuah dasar negara, apalagi zaman itu, semua sudah serba complicated.
Terus yang menarik lagi saat merumuskan pidato
proklamasi, ternyata itu tidak mudah. Butuh kata-kata yang pas agar pidato
tersebut bisa dibuat dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Kenapa bisa begitu? Ya, karena kita merdeka memanfaatkan kondisi yang secara
gampangnya... ASAP (As Soon As Possible). Atau secara kasarnya... Kalo mau
merdeka ya sekarang, bukan nanti. Seperti berada dalam pilihan, merdeka
sekarang atau terus-terusan dijajah? Pilih mana?
Dan ketika Soekarno berhasil memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, saat itu juga saya tidak bisa nafas di bangku penonton. Ini
benar-benar perjuangan yang luar biasa, sebab tidak mudah untuk mencapai
kemerdekaan itu.
Lalu saya selesai menonton film untuk kemudian
keluar bioskop. Tidak seperti menonton film heroik yang saat keluar, kita masih
berasa seperti jagoan yang ada di dalam film. Saya keluar justru dengan sebuah
tanda tanya, apakah saya sudah benar-benar merdeka sekarang? Apakah saya masih
malu menyanyikan lagu Indonesia Raya seperti di bioskop tadi? Apa itu berarti
saya malu menjadi bangsa Indonesia?
Saat mengetik ini justru saya tidak malu. Saya
marah sama diri sendiri, kenapa saya selalu merasa tidak merdeka?
#JanganTanyaGoogle
Comments
Post a Comment