Saya kaget membaca comment
dari Indrayanto Kurniawan (Ketua IKAFI
/ Ikatan Alumni FFTV IKJ) tentang film 99 Cahaya di Langit Eropa (99CDLE) yang punya
kans untuk tembus 1 juta penonton. Yang menarik untuk dibahas, bagaimana cara
99CDLE bisa tembus penonton sebanyak itu, padahal mereka rilis di awal bulan
Desember kemarin? Saya sendiri menontonnya
saat mengikuti FFI di Semarang kemaren. Waktu itu saya baru tahu kalau film
tersebut rilis, maklum, lagi riweuh sama tiket ke Semarang.
Kelebihan film ini pertama kali adalah cerita
(menurut saya). Segmennya jelas, muslim
Indonesia yang suka dengan kisah inspiratif. Ceritanya kurang-lebih
begini... Tentang sepasang suami-istri yang coba bertahan hidup di Eropa, sang
suami kuliah, si istri mencari kesibukan. Setipe dengan Habibie-Ainun, yang
tahun 2012 tembus 4.488.889
penonton.
Terus saya juga suka dengan tema toleransi yang ada di film ini. Ternyata nggak di Indonesia
saja, di Eropa ada banyak orang yang punya pandangan berbeda tentang muslim.
Ada yang bilang teroris, ada yang bilang agen Islam, macam-macam. Tapi yang
menarik adalah, bagaimana kita menyikapi kondisi kalau berada di posisi seperti
Hanum dan suaminya? Kan gak mudah, satu sisi kita harus jaga nama baik bangsa,
di sisi lain bicara masalah kebebasan individu dalam beribadah.
99CDLE mengajarkan saya akan betapa pentingnya
toleransi bagi umat beragama, dan yang paling keren saat adegan tentang roti
croisant. Ternyata Hanum punya sikap yang inspiratif dalam mengatasi itu. Hanum
menunjukkan kepada dunia bahwa Islam itu sebenarnya penuh toleransi.
Secara garis besar 99CDLE adalah kisah drama santun,
yang digabungkan dengan cara menampilkan gambar-gambar indah. Pemilihan
pemainnya juga keren, menampilkan Acha Septriasa yang di tahun sebelumnya
mendapatkan piala citra.
Sisi unik lain dari film ini adalah marketing yang
memang agak jor-joran. Yang saya masih bingung adalah, bagaimana ceritanya kok mereka berani ambil resiko dengan menayangkan
film tersebut di banyak layar? Soalnya kan, banyak layar itu berarti gambling
yang resikonya tinggi. Belum lagi penampilan Fatin si fenomenal, meskipun
adegannya tidak lama.
Kesimpulan saya, sangat wajar kalau film ini
berada di peringkat pertama pendapatan penonton tahun ini. Film ini membuktikan bahwa memang
film Indonesia masih mendapat tempat di hati penonton.
Masih ada peluang untuk film lain menembus angka 1
juta penonton. Apakah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Soekarno, Laskar
Pelangi, Slank Nggak Ada Matinya, atau film lain berhasil menyusul?
#KitaTungguSetelahPesan2BerikutIni
Comments
Post a Comment