![]() |
Menonton film di Bioskop
adalah rutinitas yang bikin males. Kenapa? Karena toh di TV aja ada film,
ngapain pakek acara nonton bioskop segala? Terus belum tentu juga apa yang kita
tonton itu berguna untuk diri kita. Soalnya banyak film-film di bioskop yang
nggak ada untungnya juga buat ditonton. Kasarnya begitu.
Tapi kok… Setelah 33 film saya tonton selama kurang-lebih 3 bulan ini, saya jadi mikir, ada
banyak yang saya dapat dengan menonton film di bioskop. Kenapa? Soalnya saya
lebih mengenal keunikan cerita Indonesia
melalui film-filmnya.
Katakanlah di film 99 Cahaya di Langit Eropa, dari situ saya jadi tahu tentang kehidupan
mahasiswa kita kalo belajar di luar negeri. Ternyata nggak semudah yang
dibayangkan, lho. Mereka juga nggak bermewah-mewah seperti yang ada di beberapa
film kita. Kebayang zaman dulu kalo liat Film Cerita Akhir Pekan di TVRI, suka
ada tuh kehidupan orang-orang kaya Jakarta
yang anaknya baru selesai kuliah dari luar negeri. Dijamin deh, mereka yang
baru pulang kuliah dari luar negeri bakal punya masa depan cerah. Bakal hebat.
Tapi sekarang kayaknya mengalami pergeseran.
Terus di film Air Mata Terakhir Bunda, saya mengalami proses identifikasi dengan tokoh Delta
yang diperankan oleh Vino Bastian. Menonton film ini seperti membangkitkan alam
bawah sadar saya, kok ceritanya ada yang mirip-mirip sama kehidupan saya, ya?
Uniknya, saya yakin bukan saya saja yang mengalami ini. Para
anak laki-laki yang suka bandel sama ibunya juga. Di sini saya menilai, semakin
universal nilai cerita kita maka akan semakin luas kalangan penontonnya. Maka
sudah sepantasnya film itu laku, kalau menurut saya sih begitu.
Terus waktu menonton Manusia Setengah Salmon, saya merasa bahwa sebagai penulis (maksudnya dulu) suka
mengalami hal-hal lucu kayak gitu. Seperti fantasi yang berlebihan, terus
dikejar-kejar deadline kemana pun kita pergi. Sang penagih deadline selalu
muncul dan nagih tulisan. Tertekan, ngenes, tapi lucu. Yang begini nih, yang
bikin saya ngakak-ngakak sama penonton lain satu bioskop waktu itu.
Terus waktu menonton film Make Money. Saya jadi inget, bahwa saya punya saudara laki-laki. Hubungan saya
ke ayah saya kok ya sama seperti yang ada di film itu? Gampangnya, saya adalah
anak yang susah untuk dipercaya. Mungkin karena saya keliatan slengean, nggak
jelas arah hidupnya, pokoknya payah. Tapi saya suka cerita di film itu, dimana
si anak berhasil mandiri setelah sebelumnya jatuh dan tidak punya apa-apa.
Bahkan film horor sekelas Kemasukan Setan pun bikin saya belajar. Bahwa jangan tengil mau naklukin setan, kalo
kita sendiri nggak siap menghadapi resikonya. Karena kalo kita tengil, kita
suka kesetanan dan mungkin bisa membunuh orang. Inilah yang membuat saya mikir,
mungkin itu salah satu yang jadi penyebab, kenapa orang-orang itu jadi
kesetanan saat membunuh.
Terus film Sagarmatha
yang menurut saya punya gaya
yang unik dalam penceritaan. Ternyata di ujung film, saya jadi ngeh bahwa tokoh
yang diperankan Nadine itu melakukan perjalanan sendirian. Itu menurut
kesimpulan saya, lho. Ini salah satu film yang twist ceritanya paling oke kalo
menurut saya. Nggak ada yang nyangka kalo sepanjang film Nadine melakukan
perjalanan dengan bayangan almarhumah sahabatnya.
Sokola Rimba, mengajarkan kepada saya gimana rasanya jadi orang yang mengabdikan
hidupnya untuk mendidik. Nggak peduli bayaran, nggak peduli lokasinya di
pedalaman, semua yang dilakukan atas dasar panggilan hati. Unik, nih. Satu
contoh yang patut ditiru bagi mereka yang memang panggilan hidupnya untuk
mengabdikan diri dengan cara mendidik.
Dan masih banyak film-film
lain yang menarik. Tapi satu catatan saya selama menonton 33 film adalah...
Film itu disebut bagus kalau kita yang menonton terhanyut ke dalam cerita yang
ada di dalamnya. Kita masuk ke dalam tokoh, lalu bersama dia kita belajar
mengenai hidup. Kita gak sempat mikir dan mempertanyakan elemen yang ada di
dalam film. Karena kita sudah menyatu dengan film tersebut.
Gak jadi males deh, buat dateng
ke bioskop.
;-)
Comments
Post a Comment