![]() |
Mau nggak mau gue musti ngebahas tentang masalah
ini. Masalah Lembaga Sensor Film (LSF) yang sering jadi polemik. Biar lempeng,
gue coba buka dulu LSF di wikipedia. Ternyata
ada situs resmi LSF
juga, lho. Males bacanya, capek! Hehe... Yang mau gue bahas adalah obrolan
tentang LSF ini di grup... Jadi Penulis Skenario? Gampang, Kok. Setahu saya, grup ini dikelola oleh Mbak Ari. Beginilah kira-kira
pembahasannya (dirapikan sedikit)...
Bukannya kalau ada lembaga itu, mengeluarkan uang
juga berarti? Trus fungsinya apa Lembaga Sensor ada di tiap daerah?
#Salut #KritisBangets
Acara serupa sempat diadakan di Surabaya, provinsi
Jawa Timur setahun lalu. Namun para pejabat yg membidangi mslh tsb sepertinya
tdk berkenan, terbukti sampai detik ini lembaga tsb tidak berdiri.
#Embueeer
Gue
:
Oh, ya? Seingat saya kemaren tuh 10 kota yang
sudah mereka lalui? Bukan #SewuKuto.
Gue :
(Ke Ragil Kuswandi) Cerdas ini. Memang ada
kelemahan yg saya tangkap di obrolan kemaren. Kayak muter2 gitu. Jadi ada
kalimat begini... Film yang sudah dinyatakan lulus sensor di pusat, gak perlu
lagi disensor di daerah. Lah, kalo gini ceritanya, buat apa ada lembaga sensor
daerah? Soalnya tiap daerah kan punya karakteristik budaya masing2. Contoh, ada
adegan payudara kelihatan. Mungkin di Bali masih masuk akal, tapi kalau di
Sumsel atau mungkin Aceh? Gimana tuh?
Dhe Hariyanto :
Sebenarnya yang jadi acuan LSF bikin lembaga di
tiap daerah adalah menyensor program tv lokal, khususnya program
film/sinetron... Masalahnya adalah, sampai detik ini tv lokal teramat sangat
tidak mungkin produksi film/sinetron karena keterbatan budget produksi..juga
murahnya iklan lokal...yg byk terjadi program tsb kerjasama dengan instansi
terkait... lha program punya instansi jelas uda disensor duluan sama instansi
yang punya gawe sebelum ditayangkan... emang sebuah dilema..
Ragil Kuswandi :
Nah itu lah daerah masing2 ada adat trsndri. Kalau
memang harus dibuat di setiap daerah haruslah ada fungsi yg jelaz n tjuany apa
Tradisi bikin film aja belum mengakar, sensornya
yang di galakkan. tapi kata teman saya LSF akan tetap ada walau bumi ini
runtuh.
Gue :
LSF semestinya berada di posisi tengah, antara
Penonton dan Filmaker. Bukan terkesan jadi musuh filmaker.
Saya menyimak ah....tapi memang betul semuanya
disesuaikan dengan sosbud-nya di daerah masing-masing LSF daerah itu yang
berperannya...
Gue :
Pertanyaan... Bagaimana batasan antara yang
diinginkan penonton muda (yg sekarang sudah bebas merajalela nonton di youtube)
sama norma2 yang udah nempel pada diri kita dari sejak zaman dulu?
Eddy Wenge :
Istilah yg kocak, Indowood. Ke depannya bikin
pelem minta sponsor tetap dr Indofood aja. Btw, gw msh blm mudeng soal teknis
pelaksanaannya, wur. Mohon diberi pencerahannya...
Gue :
LSF Nasional minta kebijakan baru di UU perfilman.
Tentang LSF di tiap daerah. Selain masalah teknis biar lebih murah, terus juga
mslh ke isu desentralisasi. Nah, yang jadi masalah untuk mencermati satu UU
ini. Soalnya LSF saja untuk bekerja sejauh ini memakai pedoman 10 UU. Mulai UU
perlindungan anak, UU perfilman, macam2lah. Jadi akan ada lintas UU. Krn gw
lupa UU-nya apa aja, gw simpulin... Gile ribet juga, ya?
Eddy Wenge :
Apakah LSF di setiap daerah mengikuti pedoman dr
pusat?
Ragil Kuswandi :
LSF tujuannya apa?
Gue :
(ke Eddy Wenge) Mungkin itu yang akan diciptakan.
Gw kurang ngerti masalah kebijakan sensor ini. Soalnya banyak pihak terkait
kalo urusan sensor. Padahal keberpihakan LSF semestinya mengarah ke "jalan
tengah yang muda dan yang tua". Itu aja, kok.
Gue :
(ke Ragil Kuswandi) Sesuai kepanjangannya. Urusan
sensor-menyensor. Ya, akan ada tokoh agama, tokoh pendidikan, dsb...
Ragil Kuswandi :
Sudah mulai belum, itu pelaksanaan LSF daerah?
Eddy Wenge :
Memangnya slama ini LSF berpihak ke siapa, Wur?
Dan knp jg elo smp bisa mengatakan bhw keberpihakan LSF semestinya mengarah ke
"jln tengah, yg muda dan yg tua"..??
Gue :
(ke Ragil Kuswandi) Itu yang saya nggak tau. Saya
diundang waktu itu untuk urusan saya dengan Ketua KPID aja. Nggak ada yang
laen, kok.
Gue :
(ke Eddy Wenge) Dari gosip yg gue tau sih, LSF
berpihak ke generasi tua perfilman Indonesia. Disebut generasi tua, yaaa... You
know-lah. Sementara yang muda sekarang gila2 pengetahuannya. Sebagai contoh...
Produser pasti akan ngomong, internet aja bebas kok bioskop enggak? Jadi kita
mau patokan yang kayak gimana? Bicara batasan ini ribet. Mau riset? Duit darimana?
Gue :
Kalo gue ngomong, hopeless sama perfilman
Indonesia. #Salahlagi.
Eddy Wenge :
Kayaknya wacana
ini msh jauh dari kejelasan dan terkesan dipaksakan. Hingga saat ini gw msh blm
paham tujuan utama dan teknis pelaksanaan wacana ini. Gw yakin hal ini justru
akan memperparah iklim perfilman nasional kita.
Gue :
Yang penting
jangan berhenti berkarya!
Eddy Wenge :
Justru gw takut
klo hal ini nantinya akan mengekang ato mengebiri semangat berkarya teman2
sineas kita, Wur.
Gue :
Berkarya dengan
niat yang tulus, pasti akan menghasilkan sesuatu yg tulus juga.
Sekarang saatnya gue menyimpulkan obrolan ini. Memang
tidak mudah bagi LSF sendiri untuk masuk ke wilayah pembahasan UU. Butuh waktu,
jadi kita nggak usah ribet urusin itu. Biar mereka yang sudah ahli membahasnya.
Kalo mau jadi moviemakers (movers), satu-satunya cara yang bisa kita lakukan
adalah... Berkarya aja! Ngapain mikirin LSF, orang LSF aja belum tentu mikirin
kita.
Daripada ngebahas LSF, mending bahas yang ini, deh!
Comments
Post a Comment