Sebel banget gue sama film ini. Bukan apa-apa, di
awal gue ngebayangin bahwa film ini bakal seru, bakal heboh, nggak taunya
ngomongin tentang Butet Manurung. Gue kan ngarepinnya film anak-anak, bukan
film tentang Butet. Tapi ya mau gimana lagi, Prisia Nasution kan manis. Yaaa...
Apa boleh buat, deh. Nikmatin ajah!
Emang dari beberapa minggu lalu gue janjian sama Nyonya. Ceritanya begini...
Gue pengen anak-anak sama Nyonya nonton film ini. Gue pengen banget mereka menonton
cerita tentang guru yang mengabdi di pedalaman Jambi. Ternyata kejadian bener.
Nyonya sama anak-anak nonton Sokola Rimba di 21 Internasional Plaza, Palembang.
Sementara gue nonton di 21 Arion, Rawamangun. Jamnya duluan mereka, soalnya gue
telat dan baru bisa masuk pas tayangan kedua.
Semangat banget nih gue, soalnya mau membandingkan
apa yang mereka dapat dengan apa yang gue dapat. Ternyata di awal-awal film gue
sempet mikir, ini film kategorinya untuk Semua Umur (SU) atau bukan, sih? Kok
ngomongin konflik orang-orang dewasa? Karena setahu gue, bicara tentang film
anak-anak, berarti ceritanya dari sudut pandang anak-anak, dong. Gampangnya,
ngapain coba anak-anak tahu masalah konflik kelapa sawit segala? Konflik
penebangan liar. Mana gaya penggarapannya setengah dokumenter pulak.
Namun tiba-tiba, di bagian akhir gue mulai merasakan
ada yang beda dengan kisah ini. Pelan-pelan mata gue mulai berkaca-kaca. Makin
ke belakang, gak sadar air mata ini meleleh. Alamaaak, kok jadi kebawa gini,
ya?
Sekarang gue nyadar, bahwa memang tipe penggarapan
film ini mungkin beda dari biasanya. Gue jadi inget film Cast Away, yang bagian
di awal pulau terkesan dokumenter banget. Tapi ke belakang, mewek-mewek deh.
Jadi kalo ditanya gimana tanggapan gue usai
menonton film ini? Gue bilang sih, ini adalah film kedua yang berhasil bikin
gue mewek. Setelah film Air Mata Terakhir Bunda.
#Cengeng #Hiks #Hiks
Comments
Post a Comment