Satu pelajaran yang saya dapat setelah menonton film ini, yaitu masalah ritme. Ritme yang ada di film ini benar-benar membuat saya tidak sempat berfikir lagi. Mungkin ini yang disebut dengan, menulis skenario pakai rasa. Dalam artian, bisa mengatur ritme sehingga penonton tidak sempat lagi berfikir.
Awalnya, Saya tidak banyak komentar setelah menonton film ini. Karena film ini bisa membuat saya menangis dan tertawa, seperti catatan saya yang ada pada twitter di atas.
Pengalaman saya terakhir nonton film yang tipenya begini adalah, karya terakhir Pak Misbach Yusa Biran, “Cinta Suci Zahrana”. Sebuah film yang bisa membuat kita lupa dan perhatian fokus ke cerita yang ada di layar bioskop.
Beberapa waktu lalu saya membahas masalah ini dengan sahabat saya, Kusen Dony, pengajar di Institut Kesenian Jakarta. Yang kami bahas adalah, kita sering melupakan kekuatan cerita yang ada di dalam film. Sekali lagi saya ingatkan, kenapa cerita itu penting? Ya, kalau kamu habis nonton bioskop dan bertemu dengan temanmu, maka dia akan tanya apa? Sebagian besar yang awal ditanya adalah... Ceritanya bagus, nggak?
Tapi kembali lagi, setiap apapun yang kita kerjakan sebagai movers (moviemakers) itu penting. Mau penulis, sutradara, produser, pemain atau bahkan PU sekali pun penting. Kurang pantas rasanya kita meremehkan PU, sementara selama syuting kita minta diambilkan kopi sama dia.
Kembali lagi ke film ini, ada beberapa catatan yang saya simpulkan setelah menonton film ini, antara lain:
1. Kekuatan Cerita
Film ini kuat lantaran ceritanya kuat. Yang paling sering saya dengar dialog-nya begini... “Kalo harta itu, semakin besar, semakin mahal, semakin lelah kamu menjaganya. Tapi kalo yang namanya ilmu, semakin dalam, semakin luwes, semakin kuat, dia yang akan jaga kamu”, Bu Sriyani. Ini mengingatkan saya akan nasehat ibu saya sendiri. Bagaimana dengan ibu kalian?
2. Musik Yang Menyentuh
Kekuatan lain yang saya tangkap di film ini adalah musiknya. Cerita yang menyentuh, memang sebaiknya didramatisir dengan musik yang menyentuh pula. Musik itulah yang menghantar kita melelehkan air mata, tertawa, dsb, sepanjang menonton film. Kalau ada adegan menyentuh terus musiknya kocak, gimana? Coba saja bikin! Mungkin rasa menontonnya juga beda.
3. Perbedaan Warna Gambar
Ini kebiasaan lama, tapi unik. Zaman dulu, kalau menggambarkan adegan flashback di dalam film, kita sering menggambarkannya dengan hitam putih. Menandakan bahwa itu cerita flashback, bukan present. Saya pernah nonton malah kebalikannya. Judul filmnya adalah Road Home, sutradara Zhang Yimou. Justru flashback dibuat berwarna, sementara sekarang dibuat hitam putih. Bebas-bebas saja, asal pas rasanya. Kalau di film AMTB ini, ada perbedaan memang. Kalau flashback dominan kecoklatan, sedang sekarang cenderung cerah. Tapi saya kurang konsisten melihatnya, coba di-cek lagi kalau kalian menonton.
4. Karakter Pemain
Bicara Vino Bastian (anaknya Wiro Sableng menurut gosip, hehe) berarti bicara karakter yang sudah melekat di film-film dia terdahulu. Seperti di Realita, Cinta dan Rock n Roll, lalu Radit dan Jani, kemudian Cinta/Mati. Ada banyak FTV juga yang memakai dia sebagai pemain utama. Karakter Vino itu sudah melekat, dalam artian, kalau sedih ya begitu itu. Kalau marah, ya beringas banget. Pelajaran yang bisa diambil, akting Vino memang ekspresif. Itu adalah tipe dia. Bagaimana dengan Rizky Hanggono? Coba nilai sendiri, deh! Yang cukup memikat justru penampilan Delta kecil di sini. Unik. Mukanya unik, cerdasnya unik. Pas.
5. Artistik
Coba perhatikan gorden yang ada di gubuk film ini! Gila, itu gorden sangat khas. Saya saja sekarang masih bertanya-tanya, gorden seperti itu masih ada atau enggak? Lalu uang saat Bu Sriyani (Happy Salma) membayar jajannya Delta kecil. Uangnya sesuai dengan zaman Delta kecil atau enggak? Lalu ada iklan “Antangin”, yang bisa jadi pertanyaan buat kita? Bahwa Antangin itu memang sudah ada sejak zaman Delta kecil, atau enggak? Intinya, film ini banyak memberi gambaran kepada saya tentang betapa pentingnya artistik yang ada di film ini. Kenapa penting? Karena ini menyangkut cara meyakinkan bahwa film ini terinspirasi dari kisah nyata.
Dari 5 catatan di atas, saya hanya ingin mengingatkan bahwa... 12 kali saya menonton film Indonesia di bioskop dalam rangka #1001TiketFilmIndonesia, saya semakin yakin bahwa kualitas film kita itu nggak kalah.
Coba kasih alasan, kenapa kita lebih sering memilih film asing ketimbang film kita sendiri?
Comments
Post a Comment