Pantai Selatan : Kenapa Legenda Kita Kurang Menggigit?



Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak saya setelah menonton film ini. Tapi yang paling mendasar adalah, kenapa legenda Indonesia itu sering dibuat kurang menggigit, ya? Maksudnya menggigit di sini, bisa menjadi semacam branding yang menarik produk.

Saya hubungkan masalah ini dengan vampir. Anggap saja vampir ini juga legenda yang ada di luar negeri. Atau mungkin mitos? Ya, intinya begitulah. Cerita rakyat yang sudah menempel di ingatan secara turun-temurun. Apa pun namanya nggak penting, yang penting adalah, ada figur yang bisa menjadi wakil dari sebuah branding produk.

Kita bahas Nyi Blorong yang ada di film Pantai Selatan. Zaman dulu seingat saya, ada tokoh Suzanna yang memerankan Nyi Blorong. Visualnya keren banget untuk zaman itu. Rambutnya Nyi Blorong itu berbentuk ular. Uniknya, visual karakter ini mendahului visual karakter yang ada di film Monster Inc. Saya kurang tahu apakah ada visual lain sebelum itu, tapi melihat 2 perbandingan ini, bisa dijelaskan bahwa imajinasi kita itu tidak kalah hebat dengan imajinasi orang-orang Hollywood.

Lalu saya bandingkan lagi dengan karakter Vampir atau Drakula. Bedanya apa sih antara Vampir sama Drakula? Hehe... Sampe sekarang saya juga bingung. Wkwkwkwk...

Drakula di film-nya Coppola itu yang paling saya ingat adalah Gary Oldman, dia memerankan tokoh Count. Visualnya begini... Topi gaya Slash, kacamata bulat John Lennon, baju jas panjang (overcoat kalo nggak salah), jalan agak menunduk, kesannya cool. Zaman itu gaya seperti ini terkesan kereeen banget.

Kita bandingkan dengan Robert Pattison di zaman sekarang. Ya, di era Twilight Saga-lah. Perkembangan karakter drakula yang keren, ya beda lagi. Sekilas mirip James Dean, tapi sekilas lagi mirip Elvis Presley. Edward Cullen, tokoh di sini sangat anak muda banget. Ganteng, tajir, pintar, sangat melindungi Bella Swan sang kekasih. Muncullah merek-merek mobil dari keluarga-nya Edward.

Kalau kita ingat-ingat, film Indonesia yang model begini adalah Catatan Si Boy. Film yang sempat heboh di zamannya. Boy adalah tokoh yang tajir, jago berantem, disukai banyak teman, alim, lengkap deh satu paket. Sebuah karakter yang mewakili generasi muda saat itu.

Dari situ saya makin yakin, sebenarnya kita punya branding character yang cukup kuat di film-film Indonesia terdahulu. Coba kita ingat film Suzanna yang berjudul, Malam Satu Suro. Di situ lebih jelas lagi, Suzanna make up nya berwajah putih, lalu di sekeliling matanya ada lingkaran berwarna hitam. Asli, kalau dulu saya mengingat itu seremnya minta ampun.

Belum lagi Suzanna menarik kotak mayat bayinya pakai tali, diseret gitu pulak. Anjriiit, seremnya minta ampuuun. Ini sih gak kalah sama gothic-nya anak-anak NuMetal. Lebih keren malah.

Lalu kita juga ingat Lupus dengan permen karetnya. Si Roy, seingat saya dengan rokok Djarum-nya. Dan banyak lagi branding yang melekat di setiap kemunculan tokoh film.

Sekarang kita jarang menemukan branding tersebut. Makanya di twitter saya bertanya... How to build branding image with movie character?

Seperti kalau kita bicara James Dean, maka image yang muncul di kepala kita adalah jeans dan mobil porsche. Lalu kalo bicara Slash, maka langsung larinya ke gitar Les Paul. Atau yang lebih unik lagi bicara SBY, maka yang kita ingat “Ayo bisa!”. Semuanya berujung ke masalah produk secara market.

Kembali lagi ke Pantai Selatan. Ketika kita akan memutuskan bikin film ini, yang ada di benak pertama kali adalah, bagaimana cara menyajikannya? Apakah full spesial efek, atau malah biasa saja? Atau mirip sinetron Filipina yang sempat ditayangkan sama Televisi Nasional beberapa waktu lalu? Pilihan ada di tangan pembuat film. Bagaimana dia akan menyajikannya.

Kesimpulan saya... Jika ditanya, bagaimana membangun branding image dari sebuah karakter yang ada di film? Pertama kali sebagai filmaker kita musti bisa meyakinkan dulu, bahwa karakter kita layak menjadi branding sebuah produk.

I’ll be back!!!


Comments