Catatan Setelah Menonton Film 'Malam Seribu Bulan'


Oleh : Wurry Parluten

Dalam setiap film yang saya tonton, saya berusaha mengandaikan diri sebagai penonton yang ingin belajar membuat film. Saya berusaha melihat dari kacamata anak muda, yang ingin terus berkarya demi kemajuan Perfilman Indonesia. Untuk itulah saya selalu menganggap ini sebagai eksperimen, yang akan saya bagi untuk mereka yang membutuhkan. Kalo gak butuh, lempar aja ke jamban.

Seperti kali ini saya menonton film “Malam Seribu Bulan”, yang jujur saja secara judul sudah mengindikasikan, bahwa film ini musti rilis bulan puasa. Ada apa di balik proses distribusi-nya? Kenapa film ini justru tayang pada saat bukan bulan puasa? Kenapa tidak tayang pas puasa tahun depan? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Ada beberapa hal yang menarik di film ini. Pertama, penampilan tokoh Aisyah (kalau nggak salah ini Dea Imut). Tokoh yang pemalu, pakai jilbab, santun, hadeeeh, cewek model begini seperti gambaran surga yang ada di dunia buat saya. Jadi ingat zaman kuliah dulu, waktu saya nongkrong di salah satu kampus terkenal di Jakarta, ada cewek yang tipenya model begini. Kami mewakilinya dengan satu kata... Bening. Artinya kami kagum dengan kesolehannya.

Kedua, pertanyaan bagaimana mengemas pesan religi ke dalam sebuah film? Ini memang masih sulit. Coba kita lihat bagaimana penulis kawakan seperti Mas Wahyu (Penulis Para Pencari Tuhan) dan Om Imam Tantowi (Penulis Tukang Bubur Naik Haji). Coba bandingkan! Ada berbagai macam tipe kemasan religi dalam sebuah karya audio visual. Seperti saya dulu menulis sinetron Hidayah, ini kemasannya lain lagi.

Mengemas pesan religi mungkin enak kalau kita bandingkan dengan bagaimana mengajari anak kecil. Anak kecil itu agak susah kalau diajari dengan verbal, alias diomongin. Kalau kita kasih contoh, mereka akan lebih kena.

Ketiga, di film ini ada sebuah kampung yang bernama “Kampung Cahaya”. Entah ada atau tidak kampung ini, tapi secara nama unik juga. Terkesan bahwa kampung ini seperti memberi cahaya di hati. Apalagi kalau lihat karakter Aisyah, emang bener-bener bercahaya di hati. #Eaaak

Keempat, yang unik di sini adalah Tora Sudiro sebagai pemainnya. Selain menjadi preman, karakter Tora ini juga melekat sebagai komedian. Bagaimana cara dia menjadi preman, bagaimana giginya yang unik dimainkan sebagai artifak (istilah almarhum Pak Soemardjono dulu), bagaimana dia kok cuma bisa maen 3 scene doang.

Hah! 3 scene doang? Iya, di sini Tora saya hitung main di 3 scene doang. Itu pun satu setting dan nggak pindah-pindah. Menarik, kan? Bisa jadi pelajaran bahwa kita bisa bikin film pakai aktor mahal, tapi penampilannya cuma sebentar.

Sebenarnya ada istilah cameo, kalau di film-film Hollywood. Artinya ada aktor/aktris terkenal yang perannya numpang lewat. Kalo Tora di sini disebut cameo atau tidak, ya?

Terlepas dari itu semua, saya kok jadi mikir. Kenapa kita tidak bayar Robert Pattison buat maen di film Indonesia, ya? Ya, satu scene saja. Sisanya kita pakai kaki siapa, kek. Ceritanya mungkin tentang Edward Scullen yang kakinya cantengan gara-gara maen ke Indonesia.

#Kriiing! #SuaraTelpon #Apa? #DiaMasukRumahSakit?

Comments