Cahaya Kecil : Film Tentang Rock Yang Dikemas Dengan Gaya Drama



Sebagai mantan anak band yang bermimpi jadi rocker, trailer “Cahaya Kecil” begitu memikat hati saya. Rasanya tidak sabar ingin menonton film ini. Langsung yang ada di benak saya adalah, “Realita, Cinta & Rock n Roll”. Apalagi yang main di film ini adalah Andi Rif, yang jelas-jelas buat hati saya, salah satu ikon musik rock Indonesia.

Tapi apa hendak dikata, saat menonton film ini saya langsung kaget. Beda banget dari bayangan saya sebelumnya, yang akan berisi hingar-bingar musik rock. Di sini malah ceritanya lebih drama. Bener-bener drama bikin saya jadi merasa, ini dia keunikan film Cahaya Kecil.

Saya melihat bahwa ada semacam eksperimen yang dilakukan oleh para pembuat film ini. Soalnya jarang ada film tentang musik rock yang dibuat dengan gaya drama. Bisa menjadi contoh bagi para pembuat film baru, bahwa rock tidak mesti hingar-bingar. Rock tidak harus banting-banting gitar. Di sini kita bisa melihat dunia rock itu dari kacamata lain.

Film ini sangat kuat pesan moralnya, bercerita tentang hubungan ayah dan anak. Sang ayah bernama Arya Krisna (Andi Rif), sedang si anak bernama Gilang (Petra Sihombing). Arya sangat kharismatik sebagai musisi rock, sedang Gilang membenci ayahnya karena menyebabkan kematian sang ibu, dari sudut pandang Gilang begitu. Bagaimana kelanjutannya, nonton saja deh. Buat calon musisi rock, ini pas banget. Paling tidak bisa menambah kekuatan hati dalam menekuni mimpi yang belum terwujud.

Yang mau saya bahas adalah cara mengemas pesan dalam sebuah film. Penulis film ini adalah Titien Wattimena, yang tak lain adalah penulis skenario papan atas Indonesia. Seperti yang Mbak Titien pernah bilang, bahwa drama-lah yang memilih saya. Maka kalau bicara Mbak Titien, ya bicara drama. Bisa menjadi catatan untuk penulis skenario muda, bahwa terkadang memang tidak bisa dibantah, bahwa setiap penulis punya karakter yang memang pas sama jiwa dia. Kalau bicara menulis skenario dengan rasa, maka yang paling sulit dari menemukan gaya kita menulis itu adalah... Menemukan rasa (taste).

Contoh bagaimana penulis skenario punya gaya yang kalau kita menonton bisa berkesimpulan... Oh, ini yang nulis kayaknya si ini nih. Dulu zaman muda memang gak keren kalo nggak berpatokan sama film-film Hollywood. Makanya yang jadi patokan saya zaman itu untuk menulis skenario adalah Quentin Tarantino. Kebetulan zaman itu lagi nge-trend gaya model-model begitu.

Tarantino ini kalau diwakili dengan satu kata, berarti jawabannya adalah miring. Perhatikan gaya dia di film “Inglourious Basterds”. Waktu SS Colonel Hans Landa (Christoph Waltz) menginterogasi petani di awal film, dia memakai bahasa Jerman. Ceritanya kan tentang Nazy. Berhubung beribet (mungkin), terus mereka akhirnya sepakat ganti dialog dengan bahasa inggris. Dan uniknya, ini ada di dalam film. Sinting!

Kira-kira kalau dalam bahasa kita-nya begini... “Capek ah ngemeng Jerman, lidah gue belibet. Lo bisa ngomong basa alay, nggak?”. Kata si Petani, “Bisa dong, Bos. Lebay-lebay an aja deh, basa Jerman gue kurang lancar juga soale”. Bisa bayangin kan, kalo ada adegan model begini. Udah capek-capek ngomong Bahasa Jerman, tau-tau ganti jadi Bahasa Alay. Wkwkwk... Yang keren lagi, ini tidak membuat karakter Hans Landa jadi lucu, dia tetap jadi villain paling menakutkan zaman itu. Stylish, kalo kata gua!!!

Nah, begitu juga dengan gaya Mbak Titien ini. Dialog-dialognya bisa dibilang puitis. Dialognya menggunakan bahasa hati. Jadi menonton film ini seperti menonton pakai rasa. Tentu saja ini berpengaruh ke gesture pemainnya, ekspresi, sampai ke cara mengucapkannya. Inilah yang membuat film Cahaya Kecil istimewa.

Kesimpulan saya... Jika ingin belajar bagaimana pesan besar sebuah film terwakili dalam dialog skenario. Tontonlah film ini! Kita jadi tahu bahwa cahaya kecil yang dimaksud adalah, cahaya dari sang ayah yang musti dijaga sama anaknya.

Bukan ngomongin babi ngepet, ya? :P

Comments